- / / : 081284826829

Bermain, Cara Anak Belajar Kehidupan

Oleh: ARDA DINATA
Email:
arda.dinata@gmail.com

SETIAP saat kita harus memunculkan perasaan untuk lebih memperhatikan persoalan anak-anak. Salah satu yang patut kita sadari berkait dengan dunia anak-anak adalah “perlakuan” orang dewasa terhadap diri anak-anak yang dapat menghilangkan hakekat dunia anak-anak itu sendiri.

Menurut Sucipto Hadi Purnomo (1996), kini hilangnya dunia anak tidak hanya mengancam anak-anak jalanan, anak-anak pengungsian, dan anak-anak dari keluarga miskin. Karena kehadiran televisi, ancaman itu juga menimpa anak-anak dari keluarga maju dan berada. Lewat televisi, anak-anak dapat melihat dan menirukan apa saja yang dilakukan orang dewasa. Lewat televisi, anak-anak makin teriming-terimingi hal-hal yang sebenarnya hanya untuk orang dewasa. Lewat televisi pula, makin tiada sekat antara dunia anak dan dunia orang dewasa. Anak-anak menjadi matang sebelum waktunya.

Oleh karena itu, sadarkah kita kalau selama ini bahwa sedikit-banyaknya selera kita, selera anak-anak kita juga mulai ditentukan oleh pasar! Pernyataan itu mungkin terkesan bombastis. Tapi begitulah kenyataannya, ….ketika para orangtua disibukkan untuk memilih sekolah terbaik bagi buah hatinya. Kini para orangtua harus banting tulang untuk menanamkan investasi pendidikan bagi anaknya, mulai dari memilih TK (yang katanya favorit) atau SD (yang katanya banyak peminatnya), hingga SMP, SMU, atau PT yang kian melimpah. (Idi S.I.& Dede L.C.; 2002).



Fenomena seperti itu salah satu penyebabnya adalah karena kebijakan pemerintah dan orang tua yang diliputi oleh obsesi akan keberhasilan anak, secara sistematis anak-anak lantas tercetak menjadi sosok “kecil tapi komplet”, dan terenggutlah waktu bermain mereka. Sehingga sangat wajar peringatan yang dilontarkan oleh sosiolog Amerika Neil Postman, puluhan tahun yang silam, yang sudah mewanti-wanti tentang "hilangnya masa kanak-kanak'' dalam dunia yang makin modern dan maju ini.

Arti bermain pada anak

Menurut UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan anak adalah orang yang berusia 0-21 tahun dan belum menikah. Anak-anak pada umumnya suka meniru sikap dan perilaku orang tua dalam suatu tahap-tahap perkembangan (tumbuh kembang) yang dipengaruhi oleh derajat emosionalnya.

Kita tahu, anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah manusia yang memiliki dunianya sendiri. Anak merupakan manusia yang masih mengalami perkembangan baik jasmani maupun kejiwaannya. Anak juga manusia yang masih harus mengembangkan segala potensi kognitif, afektif dan psikomotoriknya.

Lebih dari itu, anak adalah manusia yang belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri, belum dapat mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Jadi, anak itu ialah manusia yang belum dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang aman dan mana yang berbahaya baginya. Anak adalah manusia yang belum mencapai taraf kedewasaannya, masih dalam perkembangan.

Kondisi seperti itulah, harusnya yang perlu dipahami oleh orang dewasa sehingga keberadaan egonya tidak akan “membunuh” terhadap eksistensi dunia anak-anak (baca: bermain) yang mestinya dapat dinikmati oleh setiap anak-anak di manapun.

Di sini yang perlu dipahami dan disadari oleh kita bahwa bermain adalah dunia kerja anak usia pra sekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Dalam pasal (31) Konvensi Hak-Hak Anak (1990) disebutkan, “hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak yang bersangkutan dan untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni”.

Pada konteks seperti itulah, pantas saja Fuad Hassan, mantan Menteri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa “…ada ‘pemaksaan’ anak untuk dilibatkan ke dalam proses belajar sedini mungkin. Kelompok Bermain, Taman Kanak Kanak semestinya tidak lantas beralih fungsi menjadi atau menyerupai sekolah, semata-mata karena terbawa oleh anggapan bahwa sebaiknya anak mulai bersekolah sedini mungkin. Kedua bentuk program itu tidak seharusnya berubah menjadi lembaga pendidikan yang melancarkan kegiatan skolastik dan bersifat prestatif dengan akibat menyusutnya kesempatan anak melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang bisa dinikmatinya sebagai suasana rekreatif.”

Di sini penekanannya pada tahap perkembangan seorang anak. Yakni masa anak-anak itu diperlukan suatu pendekatan bermain. Dalam hal ini seperti ditegaskan Dra. Menuk Teguh Riyati pada seminar Multiple Intelligence: Modal Membentuk Anak Tangguh dan Sukses bahwa bermain merupakan cara anak belajar tentang kehidupan. Melalui kegiatan bermain, anak dapat bereksplorasi, menemukan jati diri dan mengembangkan ide-ide yang mereka miliki. Bermain juga bisa memperkecil stres anak.

Lebih lanjut diungkapkan Menuk, rasa ingin tahu anak bisa berkembang melalui kegiatan bermain. Bukan itu saja, bermain dapat membantu perkembangan bahasa dan sosio-emosional anak. Yang jelas patut disadari seorang anak itu menurut teori multiple intelligence, anak itu memiliki sembilan kecerdasan. Yakni kecerdasan linguistik, logis matematis, spasial, kinestik jasmani, dan musikal. Kemudian kecerdasan antarpribadi, intrapribadi, naturalis, dan moral. (Republika, 18/5/03).

Jenis permainan

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka kita tentu tidak boleh salah langkah dalam menentukan jenis permainan yang tepat diberikan pada anak-anak. Menurut Caillois permainan itu dibagi menjadi empat bagian.

(a) Agon. Jenis permainan ini mencakup semua bentuk permainan yang bersifat pertandingan atau perlombaan. Dalam pelaksanaannya, kedua pihak yang berlawanan memperoleh hak dan kesempatan yang sama. Hal ini diatur oleh peraturan. Karena itu wasit yang mengatur jalannya pertandingan menjalankan tugasnya tanpa niat memihak. Tujuan akhir ialah mencapai kemenangan. Karena itu, perjuangan fisik begitu menonjol seperti terungkap dalam kualitas kemampuan organ tubuh berfungsi, misalnya kecepatan, daya tahan, dll.

(b) Alea. Dalam bahasa Latin kata ini digunakan untuk permainan memakai dadu. Istilah ini digunakan untuk menamakan sekelompok permainan yang hasilnya bersifat untung-untungan atau keberuntungan salah satu pihak. Dalam pelaksanaanya, si pemain cenderung pasif dan tak memperagakan kemampuannya yang bersumber pada penguasaan keterampilan, otot, atau kecerdasan.

(c) Mimikri. Jenis ini mencakup semua bentuk permainan yang mengandung ciri pokok bermain seperti dikemukakan Huizinga yaitu kebebasan, batasan waktu dan ruang, dan bukan sungguhan. Tersirat didalamnya ilusi, imajinasi, dan interpretasi. Semua jenis permainan anak-anak yang cenderung berperan berpura-pura, seperti main perang-perangan, memanusiakan benda, dan memperlakukan satu objek dengan fungsi lain (misalnya, kursi, sebagai mobil) tergolong jenis mimikri.

(d) Ilinx. Jenis ini mencakup semua bentuk permainan yang mencerminkan pelampiasan keinginan untuk bergerak, bertualang, dan dalam wujud kegiatan dinamis, sebagai lawan dari keadaan diam, stabil atau seimbang. Mendaki gunung, olah raga di alam terbuka, permainan ayunan anak-anak, merupakan contoh dari permainan yang termasuk kategori keempat.

Penutup

Keberadaan anak dan bermain merupakan sesuatu yang patut kita cermati secara benar dalam membangun keutuhan seorang anak. Bermain itu sendiri adalah aktivitas yang menyenangkan dan merupakan kebutuhan yang melekat dalam diri setiap anak. Dengan demikian anak dapat belajar berbagai keterampilan dengan senang hati, tanpa merasa terpaksa atau dipaksa untuk mempelajarinya.

Bermain merupakan jembatan bagi anak dari belajar secara informal menjadi formal. Dalam bahasa Mayke S. Tedjasaputra (2001), bermain dapat bermanfaat untuk perkembangan fisik; motorik kasar dan motorik halus; aspek sosial; aspek emosi dan kepribadian; aspek kognisi; mengasah ketajaman penginderaan; mengembangkan keterampilan olahraga dan menari; sebagai media terapi; dan lainnya.

Akhirnya masihkah orang dewasa akan bersikap “memaksa” keinginannya yang akan merampas dunia bermain anak-anak yang sejatinya adalah buah hati dan dambaan orang tua di masa yang akan datang. Kalau bukan sekarang, lantas kapan lagi kita mau memberi ruang bermain yang cukup pada anak-anak kita? Wallahu’alam.***

Penulis adalah peminat masalah anak dan Pendiri Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam (MIQRA), tinggal di Bandung.

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM