- / / : 081284826829

Ilmu, Mematangkan Pola Pikir Anak

Oleh: ARDA DINATA
Email:
arda.dinata@gmail.com

Ramadhan merupakan bulan yang Allah SWT tetapkan di dalamnya perintah berpuasa (shaum). Bagi kaum muslimin, bulan suci ini selalu dikaitkan dengan turunnya Alquran, yaitu sebagai aturan yang akan mempedomani seluruh umat manusia pada kehidupan yang benar dan selamat.

Allah berfirman yang artinya: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan Al-Furqon (pembeda antara hak dan batil). [QS. 2: 185).

Di sini, terkandung maksud bahwa untuk dapat memahami petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam Alquran tentu diperlukan sesuatu apa yang kita sebut dengan ilmu. Ilmu adalah kunci yang akan membuka tabir-tabir yang tersyirat dalam Alquran. Itulah sebabnya, banyak sumber yang menyebutkan salah satu keistimewaan yang terdapat dalam ibadah shaum adalah dapat meningkatkan aspek ruhiyah melebihi aspek material.

Konsep tersebut, tentu tidak berlebihan, karena bulan Ramadhan memang telah dijadikan oleh Allah sebagai madrasah Robbaniyah. Sebuah lembaga pengembangan tahunan bagi kaum muslimin yang disiapkan Allah SWT. Untuk itu, bulan suci ini, janganlah kita sia-siakan. Mari bangun keluarga kita dengan mematangkan pola pikir anak-anak kita. Kata kuncinya ialah melalui memperdalam ilmu.



Ilmu itu selain akan mematangkan pola pikir anak –yang berbuah perilaku bijaksana--, juga mampu mengungkapkan hikmah-hikmah yang terjadi dari setiap kejadian hidup keseharian kita. Jadi, tidak setiap orang mampu memungut hikmah sebagai hak miliknya yang hilang. Nabi Saw bersabda, “Hikmah adalah milik yang hilang dari seorang mukmin. Di manapun ia menemukannya, maka dia adalah orang yang paling berhak (memungutnya).” [HR. At-Tirmidzi].

Ilmu Lebih Utama dari Harta

Berbicara ilmu, ada baiknya kita membaca kembali hikmah berikut ini, yang dapat kita tanamkan pada anak-anak dan keluarga kita dalam menggapai keluarga yang cinta ilmu. Berdasarkan cerita ahli hikmah, berkumpullah sepuluh pemuka kaum Khawarij dan menyatakan tidak mau menerima ketika mendengar sabda Nabi Saw berikut: “Akulah kota ilmu. Ali adalah gerbangnya.”

Dalam pertemuan itu, mereka mau mencoba untuk membuktikannya. Kaum Khawarij mengatakan, “Kita cukup melontarkan satu pertanyaan yang sama. Jika Ali memberikan alasan yang berbeda maka benarlah apa yang disabdakan Nabi.”

Kaum Khawarij kemudian mendatangi Ali secara bergilir satu persatu dan bertanya kepada Ali, “Lebih utama mana ilmu atau harta?”

“Ilmu,” jawab Ali.

“Apa alasannya?”

“Ilmu warisan para Nabi. Harta warisan Qorun, Syaddat Fir’aun dan lainnya.”

Orang pertama segera pergi. Lalu datang orang kedua dengan pertanyaan yang sama. Ali selalu menjawab bahwa ilmu lebih utama dari harta. Tetapi setiap pertanyaan selalu diberikan alasan yang berbeda.

“Ilmu menjagamu. Sedang harta, kamulah yang menjagamu,” jawab Ali kepada orang kedua.

“Pemilik harta musuhnya banyak. Pemilik ilmu sahabatnya banyak,” jawabnya kepada orang ketiga.

Kepada orang keempat Ali menjawab, “Harta akan berkurang jika kau gunakan. Ilmu akan bertambah jika kau pergunakan.”

Kepada orang kelima, Ali menjawab, “Pemilik harta akan ada yang menjulukinya si pelit. Pemilik ilmu selalu dihormati dan dimuliakan.”

Kepada orang keenam, Ali menjawab, “Harta perlu dijaga dari tangan pencuri. Ilmu tidak perlu menjaganya.”

Kepada orang ketujuh, Ali menjawab, “Pemilik harta pada hari kiamat kelak akan dimintai tanggung jawab. Pemilik ilmu akan mendapat syafaat.”

Kepada orang yang kedelapan, Ali menjawab, “Manakala dibiarkan dalam waktu yang lama harta akan rusak. Ilmu tak akan musnah dan lenyap.”

Kepada orang ke sembilan, Ali menjawab, “Harta membuat hati jadi keras. Ilmu menjadi penerang hati.”

Kepada orang kesepuluh, Ali menjawab, “Pemilik harta akan dipanggil tuan besar. Pemilik ilmu akan dijuluki ilmuwan. Andai kata kalian hidupkan banyak orang maka aku akan menjawabnya dengan berbeda selagi aku masih hidup."

Mereka lalu kembali dalam pengakuan islam. Dan sungguh indah dan beruntung bagi mereka yang memiliki anak-anak ilmuwan ---lebih-lebih ilmu agama islam---, sehingga dengan ilmunya perilaku dirinya akan dibimbing ke jalan yang lurus dan benar (baca: kendaraan menuju Allah).

Kendaraan Menuju Allah

Ilmu memiliki peran yang sangat menentukan dalam perjalanan memperoleh kendaraan menuju Allah. Dalam hal ini, jika Allah menghendaki untuk memberikan taufiq kepada seseorang sehingga ia mampu menambah bekal ilmu, maka hendaknya ia memperhatikan hal-hal berikut agar dapat bersikap seimbang dalam mencapainya, sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih di antara berbagai keinginan manusia itu.

Dalam hal ini, menurut Muhammad bin Hasan bin ‘Aqil Musa, ada lima sisi-sisi tawazun (keseimbangan) dalam menuntut ilmu syar’I, yaitu:

1. Keseimbangan dalam menuntut berbagai disiplin ilmu dan mengutamakan sebagian lainnya. Suatu ketika seseorang bertanya kepada Imam Malik bin Anas, “Apa komentar tuan tentang menuntut ilmu?” Imam Malik menjawab, “Hal itu adalah sangat baik, tapi lihatlah, ilmu-ilmu yang mana saja yang semestinya engkau wajib mengetahuinya (karena terkait dengan amaliyahmu) mulai pagi hingga sore (malam), maka pelajarilah itu.”

2. Keseimbangan antara semangat menuntut ilmu dan mensucikan hati. Aspek ini merupakan aspek yang sangat penting, sebab para ulama salaf menganjurkan agar tidak berlebihan atau meninggalkannya. Jika seseorang telah disibukkan menuntut ilmu, terkadang melupakan aspek mensucikan hati. Abu Syuraih berkata, “Sungguh hati kalian telah kotor, maka pergilah kepada Khalid bin Humaid Al–Mahry untuk belajar menata dan melunakkan hati. Kemudian, ganti dan isilah hati kalian dengan hal-hal yang membersihkan dan melunakan hati. Sebab, hal itu dapat mempengaruhi ibadah dan mempengaruhi hati serta mempererat persaudaraan antar sesama ….”

3. Keseimbangan antara kecenderungan menuntut ilmu dan memenuhi hak-hak keluarga. Kesibukan menuntut ilmu secara berlebihan akan membuat kesengsaraan dan akan melupakan mencari nafkah. Sehingga haruslah menyeimbangkan antara menuntut ilmu dan memenuhi hak-hak keluarga.

4. Keseimbangan antara menekuni ilmu dan melakukan ibadah-ibadah sunah. Imam Dhahabi menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara kedua hal itu (baca: ilmu dan ibadah sunah). Sementara, para mukhlisin dalam menuntut ilmu mengatakan bahwa menuntut ilmu lebih utama baginya dengan syarat tidak mengenyampingkan shalat dan ibadah lainnya.

5. Keseimbangan antara menekuni ilmu syar’I dan menekuni ilmu Tsaqafah Islamiyah yang aktual. Sebagian besar dari kita yang menekuni ilmu-ilmu syar’I kurang melengkapi diri dengan bekal ilmu tentang Tsaqafah Islamiyah, atau kurang mengetahui kondisi realitas yang mengintarinya. Kenyataan ini, tentu merupakan sebuah aib dan ironis bagi seorang ‘alim dan thalibul ‘ilmi. Padahal, ia berperan sebagai pembimbing dan penunjuk manusia. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM