- / / : 081284826829

Kartini, Muslimah Sejati dan Keteladanan dalam Islam

Kartini, Muslimah Sejati dan Keteladanan dalam Islam
Oleh: ARDA DINATA

AnakThe Tombs of Anak (The Cooper Kids Adventure Series #3)Anak: The MovieAnak Bayan

KEKUATAN informasi sungguh luar biasa pengaruhnya terhadap publik. Buktinya, sosok Kartini tidak dapat diartikan lain kecuali sesuai dengan apa yang tersirat dalam kumpulan suratnya: Door Duisternis Tot Licht, yang terlanjur diartikan oleh Armijn Pane sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.

Padahal, menurut versi Prof.Dr.Haryati Soebadio (cucu tiri R.A. Kartini), mengartikan Door Duisternis Tot Licht, sebagai Dari Gelap Menuju Cahaya, yang bahasa Arabnya Minazh-Zhulumaati Ilan-Nuur. Kalimat ini merupakan inti dari Panggilan Islam. Maksudnya tidak lain membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan atau kebodohan hidayah) ke tempat yang terang benderang.

Karena berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Tapi cahaya itu belum sempurna menyinarinya secara terang benderang, karena terhalang oleh atmosfir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini kembali kepada Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasanya, sebelum ia menyelesaikan usahanya untuk mempelajari Al Islam dan mengamalkannya sesuai dengan cita-citanya seperti yang pernah ditulis Kartini dalam suratnya kepada Ny.Van Kol, 21 Juli, 1902, yaitu: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”

Dengan demikian, Kartini sebenarnya ingin menjadi muslimah sejati. Buktinya, seperti diceritakan Asma Karimah (1991), pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Alquran). Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruh Kartini ke luar ruangan ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Alquran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini (baca: surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890 dan E.E Abendanon, 15 Agustus 1902).

Akhirnya, pada suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Dan kebetulan saat itu sedang ada pengajian bulanan khusus anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut. Kartini tertarik kepada materi pengajian (baca: tentang tafsir Al-Fatihah) yang disampaikan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari semarang.

Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat.

“Kyai perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu namun dia menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini.

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukaan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk Alquran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku…. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran itu justeru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Singkat cerita, Kyai Sholeh Darat pada hari pernikahan Kartini menghadiahkan kepadanya terjemahan Alquran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid I (13 juz: surat Al-Fatihah – surat Ibrahim).

Sejak saat itu, mulailah Kartini mempelajari Islam yang sebenarnya. Tapi sayangnya setelah itu Kyai Sholeh meninggal dunia, sehingga Alquran tersebut belum semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Alquran), maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap kemuslimahannya (termasuk jilbab?).

Profil Muslimah Sejati

Kartini adalah sosok wanita Indonesia. Islam jauh-jauh hari telah menempatkan wanita dalam posisi yang terhormat. Wanita merupakan sosok manusia dengan seperangkat potensi yang ada dalam dirinya. Wanita dalam bahasa Nurul Husna (1999), diungkapkan bahwa seperti halnya laki-laki, wanita memiliki seperangkat potensi berupa akal, kebutuhan jasmani dan naluri (naluri untuk memepertahankan diri, untuk melestarikan keturunan dan untuk beragama).

Lebih jauh diungkapkan, seiring dengan adanya potensi tersebut, Allah SWT menetapkan keduanya untuk menempati posisi dan peran yang beragam yaitu sebagai hamba Allah, sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat, maka sesungguhnya pandangan Islam tidak bisa dikatakan mengalami bias gender, karena Islam kadangkala berbicara tentang wanita sebagai wanita (misal dalam soal haid, mengandung, melahirkan, menyusui) dan kadang pula berbicara tentang wanita sebagai manusia tanpa dibedakan dari laki-laki (misal dalam hal kewajiban shalat, zakat, haji, akhlak mulia, amar maruf nahi mungkar).

Dalam hal ini, ditegaskan pula bahwa kedua pandangan tersebut sama-sama bertujuan mengarahkan wanita secara individual sebagai manusia mulia, dan secara kolektif, bersama kaum lelaki, menjadi bagian tatanan (keluarga dan individu) yang harmonis.

Atas dasar itulah, setiap muslimah, harus memposisikan diri dalam berperilaku dengan tuntunan Alquran dan As-sunnah, sehingga dampaknya dapat menjadi andalan panutan bagi sang anak (baca: menjadi profil wanita muslimah). Dalam beberapa ayat Alquran dan As-sunnah dapat kita temukan gambaran dari profil wanita muslimah ini. Salah satu diantaranya disebutkan bahwa wanita sebagai tiang ummat (baca: QS. Al Qashash: 7-13). Sementara itu, gambaran pribadi wanita sholihah terungkap dalam QS. At Tahrim: 10-12.
Wanita sholihah adalah sebaik-baik hiasan. Menurut Rasulullah Saw dalam salah satu sabdanya menyebutkan: “Tidaklah orang mu’min mendapat keberuntungan sesudah taqwa kepada Allah Azza wa jalla, yang lebih baik dari pada wanita sholihah. Ialah wanita yang apabila disuruh ia taat, apabila dipandang menyenangkan, apabila diberi bagian menyambut baik dan apabila suaminya tidak ada dia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Ibnu Majah).

Pada koridor demikian, seharusnya wanita muslimah memposisikan dirinya, sehingga kehidupan rumah tangga, berbangsa akan menjadi harmonis. Inilah cita-cita Kartini yang kelihatannya perlu diwujudkan dan diteruskan oleh kaum wanita (muslimah) saat ini agar menjadi pigur keteladanan bagi anak-anaknya.

Keteladanan dalam Islam

Wanita adalah calon ibu. Artinya setiap wanita harus memposisikan sebagai muslimah sejati dalam hidupnya. Untuk itu, setiap keluarga muslim dituntut menciptakan keteladanan (uswah hasanah) bagi anggota keluarganya. Teladan, diartikan sebagai (perbuatan, barang, dsb) yang patut ditiru. Sehingga, pantas saja keteladanan ini dijadikan sebagai alat utama dalam pendidikan anak. Secara spesifik, keteladanan dalam diri manusia, akan menjadikan hidupnya terlepas dari beban-beban psikis –seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang berbohong lagi dusta---. Lebih jauh, ternyata perilaku keteladanan menjadikan hidup kita indah dan menyenangkan.

Pada tataran demikian, budaya keteladanan harus menjadi visi kita dalam membangun kehidupan keluarga sakinah yang telah menjadi cita-cita kita. Sehingga setiap orang tua (terutama seorang ibu) dituntut untuk menjadi sumber inspirasi uswah hasanah (keteladanan) bagi perilaku anak-anaknya.

Adapun bentuk keteladanan yang perlu dikedepankan dalam mendidik anak adalah berupa mempraktekkan kehidupan yang islami. Paling tidak ada sembilan hal yang perlu dibangun dalam kehidupan islami tersebut yang akan membuahkan keteladanan dari seorang anak di kemudian hari dan menciptakan keluarga sakinah.

Tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan ma’ruf. Allah berfirman, yang artinya: “…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikannya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisaa’: 19).

“…. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisaa’: 36).

Dalam QS. Al-Israa: 23, Allah berfirman: “….dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembali.” (QS. Luqman: 14).

Saling menyayangi dan mengasihi. Dalam hal ini, Allah menginformasikan dalam QS. Ar-Ruum: 21, yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang ….”

Menghormati hak hidup anak. Setiap orang tua harus mampu menjaga hak hidup anak, diantaranya berupa informasi tentang apa yang diharamkan dalam hidup, berbuat baik kepada orang tua, dan jangan membunuh dengan alasan faktor kemiskinan. (baca: QS. Al-An’aam: 151).

Selain itu, dalam QS. Al-Israa: 31, Allah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan, Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa besar.”

Saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara paripurna. Dalam QS. Al-Ahzab: 59, Allah berfirman, yang artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbanya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …”

Menjauhkan segenap anggota keluarga dari bencana siksa neraka. Allah berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan urusan. Dalam QS. Ath-Thalaaq: 6, Allah berfirman yang artinya: “…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Baca juga: QS. Al-Baqarah: 233).

Berbuat adil dan ihsan. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maa’idah: 8).

Sementara itu, dalam QS. An-Nahl: 90, Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Memelihara persamaan hak dan kewajiban. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 228, yang artinya: “…Dan para wanita mempunyai hak yaang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya….”

Dalam surat yang lain, Allah berfirman, yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka …” (QS. An-Nisaa: 34).

Menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu. Allah berfirman, yang artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Israa’: 26). (Baca juga: QS. Ar-Ruum: 38).

Akhirnya, patut kita renungkan apa yang diungkap oleh Sayyid Qutb, melalui tafsirnya yang terkenal (baca: Fi Zhilalil Qur’an; 2000: 539-540), beliau menyatakan bahwa sistem keluarga di dalam Islam terpancar dari mata air fitrah, asal penciptaan dan dasar pembentukan utama bagi semua makhluk hidup dan segenap ciptaan. Keluarga adalah ‘panti asuhan’ alami yang bertugas memelihara dan menjaga tunas-tunas muda yang sedang tumbuh, mengembangkan fisik, akal dan jiwanya. Di bawah bimbingan dan cahaya keluarga, anak-anak ini menguak kehidupan, menafsirkan dan berinteraksi dengannya. Untuk itu, semoga wanita-wanita Indonesia menjadi muslimah sejati seperti keinginan ibu Kartini. Amin. Wallahu a’lam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM